Salah satu bekal utama yang dimiliki oleh manusia yang membedakannya dari binatang adalah bahwa manusia dapat berbahasa sedangkan binatang tidak. Usaha yang telah dilakukan oleh orang-orang seperti Hayes, Kellog, Gardener dan Premack untuk mendidik simpase berbahasa tidak ada yang berhasil. Kegagalan para ahli ini bukan karena metodologi mereka keliru, bahan ajarannya kurang baik atau waktu yang tidak cukup, tetapi karena bahan bakunya memang tidak mungkin untuk diajar berbahasa.
1. Perkembangan Alat UjaranKalau ditelusuri perkembangan alat ujaran (speech organs) dari zaman purbanya akan tampak bahwa manusia memang mempunyai pertumbuhan yang paling belakang dan sempurna. Penelitian para ahli purbakala menunjukan bahwa kehidupan di dunia dimulai 3.000 juta tahun yang lalu (Wind 1989) dalam bentuk organisme yang uniseluler. Tiga ratus lima puluh juta tahun kemudian berkembanglah makhluk semacam ikan, yakni, agnatha, yang tak berahang. Makhluk ini mempunyai mulut, faring, dan insang untuk bernafas. Lima puluh juta tahun kemudian munculah makhluk pemula dari amfibi yang tidak harus selamanya tinggal di dalam air. Makhluk ini mempunyai paru-paru. Adanya paru-paru dan laring ini menunjukan telah mulainya tumbuh jalur ujaran (vokal tracks) meskipun bunyi yang keluar barulah desah pernafasan saja. Perkembangan pada amfibi seperti katak telah memunculkan tulang-tulang aritenoid dan cricoid tetapi jalur trachea-nya masih pendek. Begitu pula lidahnya telah mulai lebih mudah digerakan.
Ketergantungan pada air menjadi lebih kecil dengan tumbuhnya reptil. Ada pertumbuhan yang mencolok pada reptil, yakni, rongga rusuk dada terlibat sangat aktif untuk pernafasan. Satu hal yang masih misterius adalah bahwa reptil (misalnya buanya) kurang banyak mengeluarkan suara dari pada makhluk amfibi (misalnya katak). Pada reptil organ yang mengontrol modulasi suara adalah terutama otot dan alat-alat di laring.
Pada sekitar 70 juta tahun lalu muncullah makhluk mamalia yang pertama. Pertumbuhan biologis lainya mulai muncul. Bentuk awal dari epiglotis telah mulai tampak, meskipun letaknya masih sangat dekat dengan mulut dan di bagian atas tenggorokan. Tulang-tulang arytenoid dan cricoid mulai lebih berfungsi. Evolusi lain yang penting adalah mulai adanya tulang thyroid dan bentuk pertama dari selaput suara. Karena telah adanya paru-paru dan kemudian adapula selaput suara, maka getaran selaput ini dapat mulai dikontrol. Alat pendengaranpun mulai berkembang. Alat ujar yang sudah ada seperti ini membuat mamalia (monyet, kambing, dsb) dapat mengeluarkan bunyi.
Perkembangan biologis lainnya yang terkait adalah adanya perubahan perkembangan otot-otot pada muka, tumbuhnya gigi dan makin naiknya letak laring yang memungkinkan makhluk untuk bernafas sambil makan dan minum.
Perkembangan terakhir adalah pada primat manusia. Alat-alat penyuara seperti paru-paru, laring, varing, dan mulut pada dasarnya sama dengan yang ada pada mamalia lainnya, hanya saja pada manusia alat-alat ini telah lebih berkembang. Laring pada manusia, misalnya, agak lebih besar dari pada laring pada primat lain. struktur mulut maupun macam lidahnya juga berbeda. Akan tetapi, perbedaan lain yang lebih penting antara manusia dengan binatang adalah struktur dan oraganisasi otaknya. Seperti dikatakan Wind (1986: 192)
…the fact that the apes leaves their vocal tract idle cannot be xplained by the track’s inadequacy but rather by a lack of internal, cerebral, wiring.
Pertumbuhan alat ujaran di atas digambarkan oleh Wind pada bagan berikut:
2. Struktur Mulut Manusia Vs Binatang
Skema Evolusi Manusia
Dari perkembanagan makhluk seperti tergambar dalam diagram pohon di atas (Lenneberg 1964: 70) tampak bahwa primat yang paling dekat dengan manusia adalah sebangsa gorila dan simpanse. Kemiripan ini kita rasakan kalau kita pergi ke kebun binatang dan memperhatikan perilaku binatang-binatang itu (cara mereka makan kacang, cara mereka mengupas pisang, cara mereka mereka mencari kutu, dan beberapa perilaku yang lain).
Kelompok manusia, yang dinamakan hominids atau hominidae, itu sendiri juga ber-evolusi. Konon yang tertua (australopithecus ramidus) di temukan di Afrika dan hidup pada 4.5 juta tahun yang lalu. Sementara itu muncul kelompok manusia (homo) pada 3 juta tahun yang lalu yang baru menjadi manusia modern (homo sapiens) sekitar 175.000 tahun yang lalu. Pertumbuhan bahasa di perkirakan sekitar 100.000 tahun yang lalu (Aitchison 1996: 52-53). Perhatikan pertumbuhan hominids berikut.
Meskipun ada kemiripan tertentu antara manusia dengan simpanse, tetap saja kedua makhluk ini berbeda dan yang membedakan keduanya adalah kemampuan mereka berkomunikasi dengan bahasa. Perbedaan kemampuan ini sifatnya genetik, artinya, manusia dapat berbahasa sedangkan primat lain tidak karena komposisi genetik antara kedua kelompok primat ini berbeda. Hal ini sangat tampak pada struktur biologis alat suaranya. Perhatikan struktur mulut non-manusia berikut ini
Pada primat non-manusia simpanse lidah mempunyai ukuran yang tipis dan panjang tetapi semuanya ada dalam rongga mulut. Bentuk yang seperti ini lebih cocok sebagai alat untuk kebutuhan yang non-vokal seperti meraba, menjilat, dan menelan mangsa. Secara komperatif, ratio lidah dengan ukuran mulut juga sempit sehingga tidak banyak ruang untuk menggerakan lidah keatas, kebah, kedapan, dan kebelakang. Ruang gerak yang sangat terbatas ini tidak memungkinkan binatang untuk memodifikasi arus udara menjadi bunyi yang berbeda-beda dan distingtif.
Berbeda dengan manusia, laring pada binatang seperti simpanse terletak dekat dengan jalur udara kehidung sehingga waktu bernafas laring tadi terdorong ke atas dan menutup lubang ke udara yang kehidung. Epiglotis dan velum pada binatang juga membentu klep yang kedap air sehingga binatang dapat bernafas dan minum serta makan secara simultan.
Kalau kita perhatikan bentuk dan letak gigi pada primat non-manusia akan kita dapati bahwa gigi binatang merupakan deretan yang terputus-putus, ukuran panjangnya tidak sama dan letaknya miring ke depan (Aitchison 1998:48-49). Letak seperti ini tidak memungkinkan untuk gigi atas dan gigi bawah bertemu. Bentuk, letak dan pengaturan seperti ini memang di canangkan untuk kebutuhan primer primat itu, yakni, mencari makan. Bibir pada binatang juga tidak fleksibel sehingga tidak bisa diatur untuk dipertemukan atau dilencengkan untuk menghasilkan bunyi atau suara yang berbeda.
Karakteristik seperti yang digambarkan di atas berbeda dengan karakteristik pada manusia. Perhatikan diagram mulut pada manusia berikut.
Secara proporsional rongga mulut manusia adalah kecil. Ukuran ini membuat manusia dapat lebih mudah mengaturnya. Lidah manusia yang secara proporsional lebih tebal dari pada lidah binatang dan menjorok sedikit ke tenggorokan memungkinkan untuk digerakan secara fleksibel sehingga bisa dinaikan, diturunkan, dimajukan, dimundurkan, atau diratakan ditengah. Posisi yang bermacam-macam ini menghasilkan bunyi vokal yang bermacam-macam pula, dari yang paling depan tinggi /i/ sampai yang ke paling belakang tinggi /u/, dan dari yang paling rendah depan /ae/ ke yang paling rendah belakang /a/. Belum lagi kontak antara lidah dengan titik artikulasi tertentu akan menghasilkan pula bunyi konsonan yang berbeda-beda, dari yang paling depan /p/ – /b/ sampai ke yang paling belakang /k/ – /g/.
Karena adanya perluasan rongga otak dalam pertumbuhan manusia maka letak laring maupun epiglotis manusia semacam “terdorong” kebawah sehingga letaknya jauh dari mutut (Ciani, dan Ciarelli 1992: 51-65) bila dibandingkan dengan yang ada pada binatang.
Disatu pihak, letak seperti ini memang memunculkan bahaya karena makanan yang masuk akan dengan mudah kesasar kelaring yang menuju ke paru-paru sehingga orang lalu bisa tersedak (choked). Akan tetapi, dari segi pembuatan suara posisi laring yang seperti ini sangat menguntungkan. Ruang yang lebih lebar dan lebih panjang pada tenggorokan dapat memberikan resonansi yang lebih baik dan lebih banyak.
Epiglotis yang letaknya jauh dari mulut dan velum membuat manusia dapat menghembuskan udara melewati mulut maupun hidung. Velum dapat digerakkan secara terpisah untuk menempel pada dinding tenggorokan sehingga udara akan tercegah keluar melalui hidung dan terciptalah bunyi oral. Sebaliknya, bila bunyi yang kita kehendaki adalah bunyi nasal, velum ini tidak akan bersentuhan dengan dinding tenggorokan sehingga udara dengan bebas dapat keluar melalui hidung.
Gigi manusia yang jaraknya rapat, tingginya rata, dan tidak miring kedepan membuat udara yang keluar dari mulut lebih dapat diatur. Begitu pula bibir manusia lebih dapat digerakan dengan fleksibel. Bibir atas yang bertemu dengan bibir bawah akan menghasilkan bunyi tertentu, /m/, /p/, /b/, tetapi bila bibir bawah agak ditarik kebelakang dan menempel pada ujung gigi atas akan terciptalah bunyi lain, /f/ dan /v/.
Disamping struktur mulut, paru-paru manusia juga dengan mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan. Pernafasan kita waktu berbicara, waktu diam, dan waktu menyanyi tidaklah sama. Pada waktu bicara, kita menarik nafas yang panjang sehingga paru-paru menjadi besar. Udara ini tidak kita hembuskan keluar sekaligus, tetapi secara bertahap sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, kita dapat berbicara berjam-jam, tapi kita tidak bisa berada dalam air lebih lama dari pada lima menit.
3. Kaitan Biologi Dengan Bahasa
Disamping struktur mulut manusia yang secara biologis berbeda dengan struktur mulut binatang, bahasa juga terkait dengan biologi dari segi yang lain. hal ini terutama tampak pada proses pemerolehan bahasa.
Dimanapun juga di dunia ini, anak memperoleh bahasa dengan melalui proses yang sama. Antara umur 6-8 minggu, anak mulai mendekut (cooing), yakni, mereka mengeluarkan bunyi-bunyi yang menyerupai bunyi vokal dan konsonan. Bunyi-bunyi ini belum dapat di identifikasi sebagai bunyi apa, tapi sudah merupakan bunyi. Pada sekitar umur 6 bulan mulailah anak dengan celoteh (babling), yakni, mengeluarkan bunyi yang berupa sukukata. Pada umur sekitar 1 tahun anak mulai mengeluarkan bunyi yang dapat di identifikasi sebagai kata. Untuk bahasa yang kebanyakan monomorfemik (bersukukata satu) maka suku itu, atau sebagian dari suku, mulai di ujarkan. Untuk bahasa yang kebanyakan polimorfemik, maka suku akhirlah yang di ucapkan. Itupun belum tentu lengkap. Untuk kata ikan, misalnya, anak akan mengatakan /tan/ (lihat Dardjowidjojo 2000). Kemudian anak akan mulai berujar dengan ujaran satu kata (one word utterence), lalu menjelang umur 2 tahun mulailah dengan ujaran dua kata (two word utterence). Akhirnya, sekitar umur 4-5 tahun anak akan telah dapat berkomunikasi dengan lancar.
Manusia dapat menguasai bahasa secara natif hanya kalau prosesnya dilakukan antara umur tertentu, yakni, antara umur 2-12 tahun. Di atas umur 12 tahun orang tidak akan dapat menguasai aksen bahasa tersebut dengan sempurna.
Dengan fakta-fakta seperti dipaparkan diatas maka pandangan masa kini mengenai bahasa menyatakan bahwa bahasa adalah fenomena biologis, khususnya fenomena biologi perkembangan. Arah dan jadwal munculnya suatu elemen dalam bahasa adalah masalah genetik. Orang tidak dapat memepercepat atau memperlambat munculnya suatu elmen bahasa.
Faktor lingkungan memang penting, tetapi faktor itu hanya memicu apa yang sudah ada pada biologi manusia. Echa, subjek penelitian Dardjowidjojo (2000), beberapa kali dipancing untuk mengeluarkan bunyi /j/ dan /r/ dalam bahasa indonesia, tetapi tetap saja tidak dapat mengeluarkan kedua bunyi itu sampai keadaan biologisnya memungkinkannya.