🔔 Aktifkan notifikasi disini Google News

Peningkatan mutu pemelajaran bahasa Indonesia yang apresiatif

Bagas Arie

Secara harfiah, kata apresiatif (nomina: apresiasi) berarti bersifat menghargai nilai sesuatu, termasuk hasil budaya. Jadi, dalam konteks pemelajaran bahasa indonesia yang apresiatif, kata apresiatif mengacu pada pengertian bahwa pemelajaran bahasa indonesia harus juga diarahkan pada pembinaan sikap siswa untuk menghargai, menghormati, atau menjunjung tinggi akan kehormatan bangsa Indonesia, sebagai salah satu identitas nasional Indonesia. Kiranya hal-hal ini sangat penting, sebab hingga kini masih banyak orang Indonesia yang meremehkan eksistensi bahasa Indonesia. Mereka masih lebih menghargai bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Selain itu, salah satu tujuan pemelajaran bahasa Indonesia adalah membina rasa bangga terhadap pemilikan bahasa Indonesia. Bila ada kesadaran dan kebanggaan terhadap pemilikan bahasa Indonesia, maka mutu pemelajaran bahasa Indonesia akan menjadi baik.

Bagaimanapun rumusan mengenai pemelajaran bahasa Indonesia dalam kurikullum yang pernah ada dan yang berlaku sekarang yang lazim disebut kurikulum 2013, maka tujuan utama pemelajaran bahasa Indonesia “siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, lisan dan tertulis, sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti”. Namun, tujuan utama ini dari tahun ke tahun, dari kurikulum yang satu berganti kurikulum yang lain, tetap saja belum menuai hasil yang diharapkan. Mengapa? Kambing hitam yang biasa disalahkan guru, kurikulum dan bahan pelajaran.

Faktor guru, yang dikatakan tidak mampu mengajar atau bermutu rendah, telah “diobati” dengan berbagai penataran dan pelatihan. Malah untuk keperluan penataran dan pelatihan guru ini, pemerintah telah membentuk lembaga atau instansi permanen yang disebut P3GB (Pusat Pengembangan dan Pelatihan Guru Bahasa). Kambing hitam kedua, kurikulum, yang sering disalahkan sudah tidak sesuai dengan perkembangan dunia modern, telah sering pula dibongkar pasang, dan dengan bantuan pakar asing. Tukang bongkar pasang kurikulum, yang disebut Pusat Kurikulum telah dibentuk secara permanen. Memang secara berkala kurikulum itu harus direvisi atau diperbaharui mengingat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berjalan ditempat. Kambing hitam ketiga adalah bahan atau materi pelajaran yang dikatakan selalu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini diatasi dengan pergantian buku, dalam bentuk paket yang selalu diperbaharui, serta melalui seleksi penilaian yang ketat.

Meskipun ketiga kambing hitam itu telah diatasi, tetapi hingga kini banyak orang masih berpendapat bahwa pemelajaran bahasa Indonesia di sekolah belum memberikan hasil yang diharapkan, yaitu dapat membuat siswa menggunakan bahasa dengan baik dan benar, secara lisan maupun tulis. Pada hemat kami, masih ada dua faktor yang menyebabkan kekurangberhasilan pemelajaran bahasa Indonesia itu. Kedua faktor itu adalah faktor kebijaksanaan dan faktor psikologis.

Faktor kebijan mengyangkut adanya aturan bahwa nilai mata pelajaran bahasa Indonesia di raport tidak boleh kurang dari enam. Kebijakan atau aturan ini sebenarnya bermaksud baik, yaitu untuk mengangkat martabat mata pelajaran bahasa Indonesia itu. Aturan itu dimaksudkan agar siswa mempelajari pelajaran bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh, dan guru pun dituntut untuk mengajar dengan sebaik-baiknya. Namun apa yang terjadi? Yang terjadi adalah kebalikannya, muri menjadi tidak memperlajari pelajaran bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh, sebab mereka tahu, kalau nilai pelajaran bahasa Indonesia kurang dari enam, pasti nanti akan dikatrol menjadi enam atau lebih. Sebaliknya kalau mata pelajaran lain, misal fisika atau matematika, kalau dapat empat atau lima tidak akan dikatrol menjadi enam atau lebih. Karena itu, mereka akan bersungguh-sungguh mempelajari mata pelajaran fisika dan matematika ini. Guru pun, agar tidak menjadi masalah dalam rapat kenaikan kelas, sudah mengantisipasi dengan memberikan nilai enam atau lebih, meskipun nilai sebenarnya jauh dibawah enam.

Faktor psikologis berkenaan dengan adanya pandangan dalam masyarakat luas bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa milik sendiri, yang sudah dipelajari sejak bayi atau sejak di bangku sekolah dasar. Karena itulah, kita lihat banyak guru yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia menjadi guru bahasa Indonesia. Beberapa waktu yang lalu ketika mata pelajaran bahasa Jerman dan bahasa Perancis dihapus atau dijadikan mata pelajaran elektif dari kurikulum SMA, banyak guru mata pelajaran tersebut, yang setelah diberi kursus sebentar, kemudian direkrut menjadi guru bahasa Indonesia.

Pandangan masyarakat yang meremehkan bahasa Indonesia dan mata pelajaran bahasa juga merambat kesikap dan pemikiran siswa. Hal ini harus diatasi. Mungkin dengan cara pemelajaran bahasa Indonesia yang apresiatif. Kalau ini bisa dilakukan, maka diharapkan dua tujuan utama pemelajaran bahasa Indonesia yaitu, (a) siswa merasa cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia, dan (b) siswa dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat dicapai.

Mau donasi lewat mana?

BCA - Rizky Kharisma Negari (0097107746)

Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan memberikan DONASI. Tekan tombol merah.

Post a Comment

Popular Emoji: 😊😁😅🤣🤩🥰😘😜😔😥😪😭😱🤭😇🤲🙏👈👉👆👇👌👍❤🤦‍♂️❌✅⭐
Centang Beri Tahu Saya untuk mendapatkan notifikasi ketika komentar kamu sudah di jawab.
Parse:

Gambar Quote Pre Kode


  • Home


  • Follow


  • MENU


  • Share


  • Comment
Cookie Consent
Kami menyajikan cookie di situs ini untuk menganalisis lalu lintas, mengingat preferensi Anda, dan mengoptimalkan pengalaman Anda.
Oops!
Sepertinya ada yang salah dengan koneksi internet Anda. Harap sambungkan ke internet dan mulai menjelajah lagi.
AdBlock Detected!
Kakak pakai plugin pemblokir iklan ya? Tolong kecualikan website ini dalam pemblokiran ya. Karena kami butuh penghasilan dari iklan untuk terus mengelola website ini agar bisa update artikel bermanfaat. Makasih ya 😊
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.